TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA
Bagaimana caranya agar kakak beradik yang sama-sama masih di bawah umur bisa kompak dan saling menyayangi?
Bagaimana mencegah keduanya dari bertengkar, rebutan mainan dan bersaing untuk mendapat perhatian lebih papa dan mamanya?
Ingat! Rasa kasih sayang dan tanggung jawab seorang kakak tak tumbuh
dengan sendirinya, tapi harus diajarkan dan dilatih. Orang tua pun
jangan menuntut tanggung jawab kakak secara berlebihan. Ingat, si kecil
masih usia balita.
"Saya benar-benar pusing dengan ulah Aldi. Selalu saja kalau saya
mengurus adik bayinya, ia ribut dengan adiknya yang nomor dua. Entah
rebutan mainan atau remote kontrol," keluh Bu Tina, seorang ibu
rumahtangga, tentang perilaku anak pertamanya.
Tak hanya itu, Bu Tina juga mengeluh betapa si sulung tak pernah mau
mengajak adiknya bermain. "Kalau adiknya mau ikut main, malah habis
dicubiti. Sebagai anak sulung, seharusnya, kan, dia melindungi adiknya,
mengajaknya bermain, dan menyayanginya. Bagaimana, ya, mengajarkan
tanggung jawab pada Aldi?"
Kebanyakan orang tua memang akan bersikap seperti Bu Tina terhadap
anak yang lebih tua alias kakak. Apalagi jika si kakak adalah anak
sulung, orang tua cenderung akan lebih menuntut dan mengharapkan banyak
darinya. "Hal ini disebabkan pengaruh kultural, warisan dari nenek
moyang kita," kata dra. Retno Pudjiati Azhar. Kultur ini terjadi karena
orang tua zaman dulu umumnya punya anak banyak.
"Kala si ibu kerepotan mengurus si bungsu, maka si sulung dilatih
untuk mengasuh adiknya, mengajak adiknya main, mengayomi adik.
Selanjutnya, anak nomor dua pun kalau ia sudah agak besar juga harus
mengasuh adiknya lagi. Begitu seterusnya."
Itulah mengapa, sampai sekarang pun "aturan main" tersebut masih saja
berlaku. Kecenderungan orang tua memperlakukan anak pertama berbeda
dengan anak-anak yang lahir berikutnya, juga ditegaskan oleh Mussen dkk.
dalam bukunya yang sudah dialih bahasa, Perkembangan dan Kepribadian
Anak.
"Secara umum, orang tua lebih terlibat dengan anak pertama, lebih
menaruh perhatian, memberi dorongan, dan berbicara lebih banyak. Mereka
juga cenderung lebih menuntut, mengharapkan banyak dari anak sulung."
Terlebih lagi bila si sulung berjenis kelamin perempuan, "pada
pertengahan masa kanak-kanak, anak perempuan cenderung membantu mengurus
adik-adiknya."
Libatkan Sang Kakak
Yang perlu diperhatikan, jangan sampai orang tua terlalu menuntut
tanggung jawab besar dari sang kakak karena tanggung jawab harus
disesuikan dengan usianya. "Pada anak usia balita dengan anak SD tentu
tanggung jawabnya akan berbeda. Jika beban itu terlalu berat baginya,
bisa mengganggu perkembangan kepribadiannya. Anak akan merasakannya
sebagai tekanan dan bahkan bisa jadi benci pada tugas yang diberikan
kepadanya," terang Retno.
Apalagi di usia balita, si kakak pun masih membutuhkan bantuan orang
tua. Jadi, sekalipun ia diminta untuk menjaga sang adik, misalnya
mengajak adik main di luar rumah, tetap harus ada supervisi dari orang
dewasa. Begitu juga bila meminta kakak menjaga adik di dalam rumah atau
di mobil, "jangan pernah ditinggal sendirian walaupun hanya sekejap.
Karena dalam sekejap mata, kita tak tahu akan ada kejadian apa. Bukankah
banyak hal yang bisa jadi bahaya dalam sekejap, entah masalah listrik,
korek api, gas di mobil, dan sebagainya," lanjut Retno.
Selain itu, harus disadari bahwa rasa tanggung jawab dan kasih sayang
seorang kakak pada adiknya tak bisa tumbuh dengan sendirinya. "Anak
harus diajarkan dan dilatih sejak kecil," ujar Retno. Kalau tidak, maka
ia tak akan pernah dekat dengan sang adik.
"Bahkan tak jarang, si kakak merasa adiknya sebagai saingan dalam
memperebutkan kasih sayang orang tua," lanjut dosen di jurusan Psikologi
Perkembangan Fakultas Psikologi UI ini. Nah, agar si kakak memiliki
rasa kasih sayang dan tanggung jawab pada adik, Retno menganjurkan orang
tua untuk melibatkan si kakak dalam pengurusan sang adik. Misalnya,
meminta bantuan kakak mengambilkan popok untuk adik bayinya yang pipis,
memegangi kaki adik kala ibu memakaikan popok, dan sebagainya.
Bila si adik sudah lebih besar, ibu bisa menyuruhnya membeli sesuatu
di warung dekat rumah, misalnya, dengan menyertakan sang adik, "Ajak
adik, ya, Kak. Adiknya digandeng." Berawal dari situ, selanjutnya
pelan-pelan ibu bisa meminta si kakak mengajak adiknya kala bermain
bersama teman-temannya.
Sebaiknya ibu juga berbicara kepada kakak tentang adiknya secara
pribadi, memintanya untuk ikut serta dalam diskusi dan pengambilan
keputusan tentang perawatan atau reaksi adiknya. Kala adik menangis,
misalnya, ibu bisa menanyakan kepada si kakak, "Menurutmu mengapa adik
menangis? Apa yang diinginkannya?"
Menurut Mussen dkk., anak-anak dari ibu yang bersikap demikian akan
melakukan pendekatan lebih positif satu sama lain. Penelitian pun telah
membuktikan, anak yang menunjukkan minat bersahabat terhadap adiknya
yang masih bayi selama 3 minggu pertama akan menunjukkan perilaku sosial
lebih positif terhadap saudaranya itu pada usia 14 bulan.
Jadi, Bu, jangan malah si kakak diusir kala ia mendekat ketika Ibu
sedang repot mengurus adiknya, "Sana, main di luar! Bunda lagi ngurusin
adik, kamu malah ribut melulu." Bila demikian, si kakak akhirnya akan
merasa, "Oh, aku ini gangguin adik." Ia pun akan merasa sebagai
destroyer.
Bikin Aturan
Selain melibatkan kakak dalam mengurus adik, orang tua juga bisa
melakukannya lewat dongeng sebelum tidur. "Pilih cerita yang mengajarkan
nilai-nilai tanggung jawab seorang kakak. Jika tak ada buku cerita yang
menggambarkan hal demikian, bisa bikin dongeng kreasi sendiri. Entah
tentang dua anak ayam kakak beradik yang tiap hari bertengkar terus, tak
saling sayang, akhirnya dampaknya jadi apa," tutur Retno.
Tentunya, cerita/dongeng tersebut akan lebih merasuk ke benak anak
bila diceritakan dengan intonasi yang mengena. Yang tak kalah penting,
orang tua harus menjadi contoh bagi anak. Bukankah anak selalu belajar
dari orang tua? Bila orang tua tak punya waktu untuk duduk sama-sama
dengan anak atau main bersama, tentu anak pun akan meniru. "Ia tak akan
tergerak mengajak orang lain, juga adiknya untuk main bersama dirinya,"
ujar Retno.
Tapi bila orang tua selalu menyempatkan diri untuk main bersama
anak-anak, mengajarkan berbagi antara kakak-adik, maka anak-anak pun
lama-lama akan terbiasa dengan hal demikian. Bahwa kemudian terjadi juga
pertengkaran antara kakak-adik tentulah bisa dipahami.
Soalnya, anak usia prasekolah egonya masih tinggi, walaupun ada juga
yang sudah mereda egoisnya dan mulai bisa sharing. Jadi, ujar Retno, tak
usah heran bila menjumpai si kakak tak mau berbagi mainan dengan
adiknya atau mengajaknya main bersama. "Yang penting orang tua terus
mengajarkan kasih sayang, berbagi, dan tanggung jawab pada anak-anak."
Disamping, tentunya orang tua juga perlu menerapkan aturan terhadap
kakak dan adik. Misalnya, kakak tak mau berbagi mainan dengan adik.
"Pertama kali kita harus lihat, mainan itu milik siapa.
Juga, mainan itu sedang dimainkan oleh pemiliknya atau tidak. Bila si
kakak sedang memainkan mainan itu dan adiknya ingin main pula, maka si
adik harus menunggu sebentar sampai kakaknya selesai main," tutur Retno.
Bisa juga dengan meminta izin dari si kakak, "Kak, boleh enggak Adik
pinjam mainannya?"
Bila ia menjawab, "Mainan ini, kan, punyaku," tanyakan lagi, "Sampai
berapa lama Kakak akan main? Sesudah itu, bolehkah Adik pinjam? Nah, ini
lihat jam, Kakak main sampai jarum panjang jam terletak di angka ini,
ya? Habis itu Adik boleh pinjam."
Konsekuen
Jadi, tandas Retno, orang tualah yang harus membuat aturan. Jangan
sampai orang tua malah langsung memarahi si kakak, "Kamu, kan, kakaknya.
Harus mengalah, dong!" Bila demikian, si kakak akan merasakan
ketidakadilan dari orang tua. Bukankah si kakak juga punya hak pribadi
yang sama seperti si adik?
"Kita saja kalau sedang asyik baca koran atau buku, lalu tiba-tiba
ada yang merebut, kan, jadi marah. Nah, demikian juga anak-anak." Aturan
ini juga bisa dibuat menyangkut masalah disiplin dan tanggung jawab
pribadi. Misalnya, usai bermain harus membereskan mainannya, sebelum
tidur gosok gigi, atau menaruh sandal dan sepatu di tempatnya jika masuk
ke rumah, dan sebagainya. Namun aturan sebaiknya tak panjang-panjang
mengingat usianya masih balita.
"Tentu saja, bila sudah membuat aturan harus dijalani dengan
konsekuen. Jangan malah orang tua sendiri yang melanggar aturannya,"
lanjut Retno. Misalnya, aturan boleh menonton TV setelah mandi. Bila si
anak tak mandi, ya, jangan nyalakan TV. Jangan sampai, anak belum mandi
tapi karena orang tua ingin nonton telenovela, maka dinyalakan juga
TV-nya. Tapi bila si anak sendiri yang melanggar aturan, menurut Retno,
orang tua bisa menerapkan konsekuensi. Misalnya, adik boleh pinjam
mainan kakak tapi setelah selesai main harus dibereskan. Nah, kalau ia
tak mau membereskannya, katakan, "Nanti Adik tak boleh main mainan Kakak
lagi, lo."
Dengan demikian tanggung jawab pun tak melulu milik kakak, tapi sang
adik pun tetap harus bertanggung jawab pula atas segala perbuatannya.
Jadi, konsekuensinya dalam bentuk mengingatkan, bukan hukuman. "Meskipun
hanya diingatkan, anak juga akan tergerak memperbaikinya, kok," ujar
Retno.
Hanya memang, lanjutnya, kebanyakan orang tua cenderung kurang sabar.
"Dikiranya kalau anak sudah sekali diberi tahu akan langsung mengerti.
Anak, kan, tak bisa seperti itu. Ia harus terus diingatkan."
Selanjutnya, bila anak sudah melakukan seperti apa yang kita inginkan,
berilah rewards semisal pujian, "Wah, anak Mama memang hebat, deh!"
Sudah paham, kan, Bu-Pak!
Berantem itu Ada Bagusnya, Kok!
Orang tua biasanya tak senang bila kakak-adik bertengkar. Memang tak
baik juga dampaknya bila pertengkaran lebih sering terjadi. Tapi kalau
hanya sekali-kali malah bagus, lo. "Mereka bisa solve their problem
menurut aturan mereka sendiri," ujar Retno. Karena itulah, Retno minta
orang tua sebaiknya jangan terlalu reaktif dan langsung intervensi kala
si kakak dan adiknya bertengkar.
"Lihat dulu apa permasalahannya, apakah mereka bisa menyelesaikannya
sendiri atau tidak." Tak jarang, salah satu akan mengadu lebih dulu
kepada ayah atau ibunya. Nah, manfaatkan kesempatan ini untuk menanyai
mereka, "Kenapa bisa begitu?" Lantas carilah jalan keluarnya.
"Namun dalam menanyai, sebaiknya harus dua-duanya. Bila mereka
teriak-teriak menangis, raih si victim (korban, red) dalam pelukan dan
ajak yang satunya duduk di sebelah orang tua sambil ditanyai satu per
satu." Dengan begitu, anak pun akan belajar bagaimana cara mencari jalan
keluar bila tengah menghadapi masalah. (Indah Mulatsih /nakita)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar